Gunung Slamet Darurat Sampah
PURBALINGGA, BLH – Forum Silahturahmi Peduli Lingkungan yang beranggotakan sejumlah kelompok pecinta alam dari Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap, menyimpulkan sampah di sepanjang jalur pendakian Gunung Slamet jumlahnya semakin banyak. Sementara disisi lain, kesadaran sebagian pendaki untuk menjaga kelestarian lingkungan gunung berketinggian 3.432 meter diatas permukaan air laut itu masih rendah.
“Sampah di sepanjang jalur pendakian kondisinya sudah memprihatinkan. Meski sejumlah kelompok pecinta alam melakukan bersih-bersih gunung Slamet, namun jumlah sampah semakin bertambah. Ibaratnya, Gunung Slamet sudah darurat sampah,” kata Setiyanto, dari Forum Silahturahmi Peduli Lingkungan, Selasa (28/1).
Setiyanto mengungkapkan hal itu saat membahas manajemen pengelolaan sampah Gunung Slamet dengan kelompok pecinta alam di pondok pemuda pos pendakian Gunung Slamet Dukuh Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja. Ikut hadir dalam kesempatan itu Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Ir Prayitno, M.Si, Kabid Penaatan Kapasitas dan Teknologi Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup (BLH) Purbalingga Ir Karwan MP, Kasi Sarpras Wisata Rr Sri Mulyani, BSc. .
Sembari menunjukkan rekaman video yang diambil 4 – 5 Januari 2014 soal menumpuknya sampah di sepanjang jalur pendakian dan di sejumlah pos menuju puncak gunung, Setiyanto mengungkapkan rasa keprihatinannya dengan menumpuknya sampah. Menurutnya, pendaki Gunung Slamet tidak selamanya sadar lingkungan. Mereka dengan seenaknya membuang sampah sembarangan, dan bahkan di setiap shelter pos pendakian terdapat aksi vandalisme di dinding pos yang terbuat dari seng. “Ini sungguh memprihatinkan sekali, ketika mereka mengaku mencintai alam, tetapi ternyata justru merusak alam itu sendiri,” katanya.
Setiyanto menunjukkan sampah berserakan diluar shelter pos I dan di sudut dalam shelter. Begitu juga di shelter pos II hingga pos VII. “Sampah yang dibuang berupa plastik bungkus mie instant, tisu, bekas botol air mineral, bungkus biskuit, kantong plastik dan bahkan sembarangan membuang kotoran hajatnya sendiri dan membuang air kencingnya didalam botol air mineral.
“Sampah tidak saja dibuang disepanjang jalur pendakian, tetapi pendaki nakal membuang sampah diluar jalur pendakian, kearah hutan biar tidak diketahui orang lain,” ujarnya.
Sementara itu, Dodo, anggota komunitas forum peduli lingkungan mengungkapkan, dengan mencermati data pendakian dan estimasi jumlah logistik yang dibawa setiap pendaki, maka sampah di sepanjang jalur pendakian akan semakin menumpuk. Satu orang pendaki, jelas Dodo, sedikitnya membawa logistic, 5- 8 bungkus mie instant, 3-5 sachet susu, 10 – 15 sachet kopi, 2 kaleng sarden, 2 bungkus tisu basah, 3 rol tisu kering, 3 botol air mineral, dan 1 bungkus rokok. “Pada bulan Januari dan Agustus setiap tahunnya, jumlah sampah semakin meningkat seiring melonjaknya jumlah pendaki pada bulan itu,” ungkap Dodo.
Atas kondisi itu, Forum Silahturahmi Peduli Lingkungan berniat menerapkan aturan semacam deposit untuk penanganan sampah. “Pendaki yang akan naik ke puncak gunung diminta menjaminkan barang atau uang, dan jaminan itu bisa diambil kembali dengan menyerahkan sampah yang dihasilkannya sendiri,” kata Dodo.
Kabid Pariwisata Ir Prayitno, M.Si menyambut baik usulan dari komunitas peduli lingkungan untuk menyelamatkan Gunung Slamet dari menumpuknya sampah. “Melalui metode deposit yang akan diterapkan paling tidak akan mampu menggugah pendaki gunung Slamet untuk ikut melestarikan lingkungan,” kata Prayitno.
Menurut Prayitno, aksi pembersihan atau upaya mencegah menumpuknya sampah di Gunung Slamet tentunya perlu dilakukan di beberapa pos pendakian lain di wilayah Pemalang, Tegal dan Baturaden Banyumas. Hal ini karena pendaki tidak saja melalui pos Bambangan di Karangreja, tetapi juga di beberapa pos di luar Purbalingga. “Memang pendaki lebih cenderung menggunakan jalur Bambangan untuk melakukan pendakian, dibanding melalui jalur lain,” kata Prayitno. (BLH/ac)
Komentar Terkini